Jumat, 19 Februari 2010

Pendekatan Pembelajaran dalam Tarbiyah Qur’ani

A. Pendekatan Pembelajaran dalam Tarbiyah Qur’ani

Pendekatan dalam bahasa Inggris berarti ”approach”, dan dalam bahasa arab di sebut madkhal ( pintu masuk) . Dalam S.Yusuf, 67:

وَقَالَ يَابَنِيَّ لَا تَدْخُلُوا مِنْ بَابٍ وَاحِدٍ وَادْخُلُوا مِنْ أَبْوَابٍ مُتَفَرِّقَةٍ
Dan Ya`qub berkata: "Hai anak-anakku janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain

Pendidikan tidak akan efektif apabila tidak disertai dengan pendekatan-pendekatan pada saat menyampaikan materi dalam proses belajar mengajar. Pendidik harus pandai memilih pendekatan secara arif dan bijaksana.Cara seorang pendidik terhadap anak didik akan menentukan sikap dan perbuatan. Pendidik yang memandang peserta didiknya sebagai pribadi yang berbeda dengan peserta didik yang lainnya akan membawa dampak yang kurang baik terhadap peserta didik. Oleh karena itu seorang pendidik harus benar benar mampu memlih pendekatan yang sesuai denga peserta didiknya.
Di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat atau contoh-contoh yang dapat digunakan sebagai acuan atau alternatif dalam memilih pendekatan dalam pembelajaran. Di antara pendekatan-pendekan tersebut adalah :

1. Pendekatan Ma’rifi
Pendekatan ma’rifi merupakan pendekatan yang cenderung menggunakan aspek nalar ( kognitive). Hal-hal yang berkaitan dengan pendekatan ma’rifi ini di dalam al-Quran terdapat ayat ayat yang seringkali diikuti oleh redaksi kata yang menggunakan akar kata aql(ratio; akal) dan juga menggunakan kata tafakkur(thinking, cogitation; renungan)yang berakar dari kata fikr (fikrah,nalar) . Dua kata tersebut terdapat perbedaan dalam penggunaannya di dalam al-Qur’an. Al-Ashfahani menjelaskan bahwa aql adalah suatu potensi yang dipersiapkan untuk menerima pengetahuan dan untuk mengetahui suatu pengetahuan yang diperoleh seseorang maka digunakanlah potensi tersebut . Contoh ayat yang menggunakan redaksi kata aql adalah S.al-Maidah:58 :

وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْقِلُونَ(58)
Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal.

Pada akhir ayat tersebut menggunakan redaksi akar kata dari aql yaitu pada kalimat la yakqiluun. Al-Qurtubi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa orang yang menjadikan sholat sebagai bahan ejekan dan permainan adalah seperti orang yang tidak memiliki akal.
Selanjutnya makna fikrah adalah potensi yang mampu memproses pengetahuan menuju pemahaman,sedangkan tafakkur adalah proses potensi tersebut sesuai penglihatan aql, dan hanya digunakan untuk sesuatu yang memungkinkan dapat memperoleh suatu gambaran ( konsep ) di dalam hati . Dengan kata lain, kata tafakkur digunakan untuk sesuatu yang sulit diterima secara langsung oleh akal, tetapi harus melalui penalaran dan perenungan sehingga tumbuh keyakinan di dalam hati. Dalam al-Qur’an kata ini sering dikaitkan dengan masalah-masalah penciptaan langit dan bumi (ar-Ruum: 3 al-Jatsiyah: 13, ar-Ra’d: 3), kemakmuran yang tiba-tiba berahir dengan bencana ( Yunus: 24). Seperti halnya pada S.al-Ruum:21 :

وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ(21)
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (30:21)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menciptakan istri-istri dari jenis mereka sendiri kemudian tumbuh kecenderungan dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara mereka rasa kasih sayang merupakan tanda-tanda bagi orang yang mau bertafakkur.
Kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa ketika menyampaikan kandungan ayat yang dimaksud menggunakan pendekatan yang disesuaikan dengan ranah aqli atau ranah fikri sesuai dengan obyek yang dimaksud. Apabila dikaitkan dengan pembelajaran seorang pendidik harus benar-benar mampu membedakan obyek yang aqli dan obyek yang fikri. Pendekatan aqli sering kali digunakan untuk hal-hal yang bersifat eksak sedangkan fikri (tafakkur) seringkali digunakan untuk masalah-masalah yang memerlukan penalaran atau perenungan.

2. Pendekatan Istiqra’i (induksi)
Pendekatan Istiqra’i adalah pendekatan yang dilakukan dengan meenganalisis secara ilmiah, dimulai dari hal-hal atau peristiwa yang khusus untuk menentukan hukum yang bersifat umum. Dalam hal ini al-Qur’an banyak memberikan contoh terhadap fakta-fakta yang dikumpulkan pada rangkaian ayat guna mengambil kesimpulan. Salah satu diantara firman Allah Swt. yang dimaksud adalah:
أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ(17)وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ(18)وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ(19)وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ(20)فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ(21)

Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, (88:17)Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? (88:18)Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? (88:19)Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? (88:20)Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. (88:21)

Pada ayat ini terdapat rentetan ayat yang untuk mengingatkan dan menyadarkan manusia akan kebesaran dan keagungan Allah supaya manusia mau mengingat Allah maka ayat tersebut dimulai dengan seruan agar memperhatikan berbagai ragam ciptaan Allah, dimulai dari meperhatikan bagaimana unta diciptakan, kemudian langit, gunung, dan bumi menjadi hamparan. Setelah memperhatikan bagian fenomena-fenomena alam kemudian diharapkan akan muncul kesadaran yang mampu membuat kesimpulan bahwa yang maha agung lagi besar dan menciptakan seluruh alam semesta adalah Allah Swt.


3. Pendekatan Istidlali(deduksi)
Pendekatan Istidlali adalah pendekatan yang dilakukan dengan meenganalisis secara ilmiah, dimulai dari hal-hal atau peristiwa yang bersifat umum kepada hal-hal yang bersifat khusus, atau kebalikan dari pendekatan istiqra’i. Pendekatan istidlali ini dapat juga di sebut pendekatan istinbathi. Contoh pendekatan Istidlali seperti dalam al-Qur’an S. al-Baqarah: 21-22 :

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ(21)الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ(22)
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. (2:21)Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui. (2:22)

Pada ayat tersebut memerintahkan untuk menyembah kepada Tuhan (Allah) yang telah menciptakan, kemudian eksistensi Tuhan Yang Maha Pencipta dijelaskan (diperinci) oleh ayat berikutnya; Yang menjadikan bumi sebagai hamparan, langit sebagai atap, menurunkan air (hujan) dari langit dan seterusnya.
Pendekatan istiqra’i maupun istidlali sebenarnya merupakan pendekatan yang telah lama digunakan (klasik) dalam sejarah hukum islam, namun masih sangat relevan sampai sekarang. Para imam mujtahid (bidang fiqih) telah lama menggunakan pendekatan ini dalam menentukan masalah-masalah agama.
4. Pendekatan Wijdaniy (emosi)
Pendekatan Wijdaniy adalah pendekatan yang dilakukan untuk menggugah daya rasa atau emosi peserta didik agar mampu meyakini, memahami dan menghayati materi yang disampaikan. Pendekatan ini seringkali digunakan agar mampu meyakini, memahami dan menghayati agamanya. Di dalam al-Qur’an pada surat al-Anfaal, 2 :

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ(2)

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal, (8:2)

Dari surat al-Anfaal di atas menunjukkan bahwa aspek emosi memiliki daya tangkap atau pengaruh yang besar terhadap fenomena yang muncul dari luar diri seseorang, dari yang didengar maupun yang dilihat, kemudian merasuk ke dalam jiwanya. Dicontohkan oleh ayat tersebut di atas bahwa seorang mukmin apabila di sebut nama Allah maka hatinya menjadi bergetar dan jika dibacakan ayat-ayat –Nya rasa imannya semakin bertambah serta menumbuhkan sikap tawakkal.

5. Pendekatan Ifrady (individual)
Pendekatan ifrady adalah pendekatan yang dilakukan untuk memberikan perhatia kepada seseorang ( peserta didik ) dengan memperhatikan masing-masing karakter yang ada pada mereka. Mereka berprilaku dalam belajar,mengemukakan pendapat,berpakaian, daya serap, kecerdasan dan sebagainya memiliki karakter yang berbeda-beda. Di dalam al-Qu’an S. al-Lail: 3-4, dan S. al-Isra’:21
وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالْأُنْثَى(3)إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّى(4)

Dan penciptaan laki-laki dan perempuan, sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda. (92:4)

انْظُرْ كَيْفَ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
Perhatikan bagaimana kami melebihkan sebagaian mereka atas sebagaian yang lain

Dari ayat tersebut dijelaskan bahwa prilaku dan karakter setiap orang berbeda-beda dan masing-masing memiliki kelebihan atas yang lain. Bagi seorang pendidik hendaknya memahami dan menyadari perbedaan tersebut sehingga mampu berbuat yang terbaik untuk peserta didiknya.


6.Pendekatan Ijtima’i ( kelompok )
Manusia adalah makhluk sosial, karena manusia tidak dapat hidup sendiri, terpisah dari manusia-manusia yang lain. Manusia senantiasa hidup dalam kelompok-kelompok kecil, seperti kaluarga atau kelompok yang lebih luas lagi yaitu masyarakat.
Pendekatan ijtima’i ini sangat efektif dalam membentuk sifat kebersamaan siswa dalam lingkungannya, baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Pola pendekatan ini ditekankan pada aspek tingkah laku di mana guru hendaklah dapat menanamkan rasa kebersamaan, dan siswa dapat menyesuaikan diri, baik dalam individu maupun sosialnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar